PIKIRAN Masyarakat Lae-Lae dan Rencana Reklamasi: Kesedihan Sekaligus Kegelisahan




Lapmi Ukkiri
 October 06, 2021
PIKIRAN

Masyarakat Lae-Lae dan Rencana Reklamasi: Kesedihan Sekaligus Kegelisahan




Oleh: Ahmad Fauzan Sainlia

5 Oktober 2021. Hari di mana saya berangkat dari Makassar menuju Pulau Lae-Lae dengan tujuan mengikuti kegiatan Padepokan Riset dan Advokasi yang diselenggarakan oleh Organisasi tempat saya berkuliah, yaitu Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris (HIMABSI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Adab dan Humaniora Cabang Gowa Raya.


Ya, saya di sini berstatus sebagai peserta dan sekaligus anggota dari kedua Organisasi tersebut. Berbekal rasa ingin tahu dan hasrat belajar yang haus akan ilmu dan pengetahuan, dari dermaga mataku bisa melihat langsung pulau itu dan membayangkan akan ada banyak pengalaman yang akan terjadi di sana.


Sore hari menyambut kami di sana. Beberapa selang kemudian senja mengucapkan selamat tinggal menandakan gelap akan tiba.


Di malam hari kami hanya sedikit melakukan kegiatan ringan sembari mempersiapkan hal-hal yang akan dilakukan pada esok hari.

I

Hari berganti, dan mentari pagi tersenyum lebar menyapa pulau Lae-Lae. Aktivitas pertama yang kami lakukan adalah senam. Sebuah langkah awal yang sangat baik disediakan para jajaran panitia untuk memulai kegiatan ini.


Setelah senam dan sarapan, fasilitator ruangan metodologi riset lapangan memberikan arahan berupa materi hakikat dan etika penelitian sebagai bekal kami nanti saat melakukan riset lapangan. fasilitator lapangan pun juga tidak ketinggalan untuk memberikan instruksi dan terjun langsung ke lapangan mendampingi kami.


Dengan membawa tema sosial dan ekonomi, rujukan penelitian saya tertuju pada topik bagaimana dampak proyek reklamasi Central Point of Indonesia (CPI) di pulau Lae- Lae, bagaimana respons masyarakat setempat terhadap adanya proyek reklamasi ini, dan bagaimana andil pemerintah dalam membantu masyarakat di pulau ini.


Di tengah-tengah masyarakat saya mendapatkan informasi yang cukup beragam dari beberapa informan yang telah saya tanyai.


Ternyata, dampak CPI ini lebih signifikan kepada para nelayan atau masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam, dalam hal ini Laut. Penimbunan dan pengerukan menjadi salah satu alasan hilangnya beberapa wilayah tangkap ikan bagi para nelayan yang membuat mereka pasrah.

Didampingi kakak Fasilitator berangkatlah kami dari pondok menuju pemukiman masyarakat. Sambil mencari-cari informan, saya melangkah sambil menikmati suasana rural di pulau ini. Pandangan saya begitu liar memperhatikan setiap fenomena-fenomena yang ada. 

Saya bertemu dengan seorang bapak yang sedang memotong besi, saya menyapa dia dengan ramah, "permisi pak!" Dia membalas dengan senyum. Di awal kami sedikit berkenalan dengan bapak tersebut, nama beliau adalah Pak Mucek, seorang nelayan dan masyarakat asli di Pulau Lae-Lae. Kami memberanikan diri untuk berdialog dengannya, memulai pertanyaan-pertanyaan yang bisa membuat kami sedikit akrab bersama beliau.


Namun, saat saya ingin memulai percakapan dengan Pak Mucek, beberapa kendala hadir tanpa saya undang. Saya begitu kaku mengeluarkan sepatah kata. Kepala saya sangat kosong dalam memikirkan pertanyaan. Hingga akhirnya fasilitator lapangan mencoba membantu saya. Mungkin kakak fasilitator yang mendampingi saya cukup mengerti dengan perasaan yang saya alami, mengingat dia tahu bahwa ini pengalaman pertama bagi saya melakukan riset seperti ini, apalagi bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat di Pulau Lae-Lae.


Setelah Kakanda Erich melakukan diskusi dengan Pak Mucek .... Oh iya, Saya hampir lupa memperkenalkan Fasilitator lapangan yang sangat baik mendampingi kami. Jadi nama fasilitator lapangan kami adalah Erich Ferdiansyah Am atau akrab disapa Erich. Kami dibagi menjadi lima kelompok dan setiap kelompok memiliki fasilitator lapangannya masing-masing.


Nah, setelah Kakanda Erich berdiskusi sekaligus mencontohkan metode riset secara langsung dengan Pak Mucek. Akhirnya saya sedikit paham dan memiliki gambaran. Lalu sehabis itu Kakanda Erich bergeser ke tempat yang lain untuk membantu teman saya mencari informan baru.

Sebelum kembali memulai percakapan, saya memohon izin kepada Pak Mucek untuk merekam percakapan kami dan beliau mengiyakan. Pak Mucek lumayan banyak memberi informasi kepada saya, beberapa adalah tentang bagaimana pemerintah memberi bantuan kepada masyarakat berupa akses jalan seperti paving block, bantuan dana untuk pembangunan rumah Pak Mucek juga menjadi salah satunya, bantuan pembangunan masjid yang disalurkan oleh Bapak Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah. 

Pak Mucek juga menyampaikan kepadaku soal bantuan dari pihak CPI berupa sapi kurban yang di sedekahkan kepada masyarakat tiap tahunnya. Selain itu, ada juga rencana Gubernur menimbun daerah barat pesisir pantai Pulau Lae-Lae, dan ada informasi cukup menarik yang Pak Mucek sampaikan tentang bagaimana beberapa masyarakat setempat yang sebelumnya menolak berlangsungnya proyek CPI di Pulau Lae-Lae kemudian “dipekerjakan oleh pihak CPI sebagai bentuk ganti rugi atas hilangnya wilayah tangkap ikan bagi mereka.”


Tentu saja informasi-informasi ini adalah modal yang sangat berharga untuk melanjutkan penelitian di hari selanjutnya, mengingat saya masih memiliki dua kali kesempatan untuk melakukan riset lapangan dan merefleksikan hasilnya. Namun, sayangnya informan yang kudapat di hari pertama tak lain hanya Pak Mucek saja dan itu membuatku sedikit insecure dengan teman-teman peserta lain yang mendapatkan informan lebih. Ya, mau bagaimana lagi, waktu juga membatasi dan perbincangan saya dengan Pak Mucek memakan habis waktu riset yang saya miliki.


Malam hari kembali menyambut pulau Lae-Lae sehabis kami melakukan riset lapangan, sesampai dipondok, kemudian sedikit beristirahat untuk melakukan salat sebagai kewajiban kami yang beragama Islam dan lanjut menyantap makan malam yang telah disajikan para jajaran panitia untuk mengisi Kembali tenaga kami yang terkuras. 

Setelah makan Bersama seluruh penyelenggara kegiatan termasuk para fasilitator dan panitia, barulah kami melanjutkan kegiatan selanjutnya, yaitu; Focus Group Discussion (FGD). Dalam sesi ini kami bersama fasilitator lapangan mengevaluasi seluruh hasil riset pertama yang kami lakukan pada hari itu.


Sebenarnya tema penelitian saya bukan ke ranah sosial dan ekonomi, melainkan lebih ke ranah agama. Sebelum observasi langsung ke masyarakat kami diberikan pilihan tema riset atau penelitian, seperti; budaya, sejarah, sosial, ekonomi, pendidikan, agama, dan perempuan. Jujur saya lebih tertarik mengangkat tema agama dikarenakan ilmu dan pengetahuan saya tentang agama masih sangat dangkal. 

Saya lalu mempertimbangkan untuk mengangkat tema tersebut mengingat agama adalah pembahasan yang sangat sexy dan sensitive untuk diangkat. Ada banyak aspek yang saya pikirkan sehingga pada akhirnya saya mantap untuk membawa tema sosial dan ekonomi. Walaupun dengan mengangkat tema sosial dan ekonomi, tidak bisa dipungkiri bahwa problem yang saya teliti ini juga tidak kalah sensitive dengan tema agama.

II

Hari kedua, hari di mana kami selaku peserta telah memiliki modal yang sangat baik untuk melanjutkan Riset Lapangan. Keberlangsungan kegiatan berjalan seperti hari sebelumnya dengan pola yang sama. Tanpa panjang lebar lagi, saya langsung ke informan kedua, yaitu Daeng Jua. Dia adalah pria yang bisa dikatakan sudah cukup tua untuk melakukan kegiatan berat sehari-hari. Dia juga seorang nelayan. 

Saat saya melangkah menghampirinya, ia sedang mempersiapkan semacam perangkap ikan yang akan dipasangnya nanti. “Assalamualaikum, Pak.” Sapaku sembari ikut jongkok bersamanya sebagai bentuk penghormatan. 

Lalu Ia menjawab salamku dengan sedikit heran, mungkin karena beliau baru pertama kali melihatku. Dengan nada lembut dan sopan, saya mulai bertanya. Dengan pendekatan yang cukup baik saya kemudian memberanikan diri mempertanyakan hal-hal yang telah saya tahu dari Pak Mucek. 

Daeng Jua membenarkan bahwa Bapak Gubernur memiliki rencana untuk menimbun daerah barat pesisir pantai Pulau Lae-Lae. Namun, terhambat akibat penangkapan yang telah terjadi terhadap Bapak Gubernur Nurdin Abdullah Februari 2021 lalu. “Katanya itu juga untuk kesejahteraan masyarakat di sini,” ucapnya. Daeng Jua sedikit menceritakan bahwa Bapak Gubernur Nurdin Abdullah adalah orang yang sangat baik. Daeng Jua juga membenarkan bahwa Bapak Gubernur telah menyalurkan dana sebesar kurang lebih Dua Milyar Rupiah untuk pembangunan masjid di tengah pemukiman masyarakat di Pulau Lae-Lae.

ADVERTISEMENT

Tentunya saya juga tidak lupa menanyakan mengenai dampak dari rencana tersebut. Tapi justru beliau seperti menolak memberikan informasi lebih seputar itu lalu menyuruhku bertanya kepada masyarakat setempat yang bekerja langsung dengan pihak CPI. Ia mengaku memiliki kenalan masyarakat setempat yang bekerja langsung dengan pihak CPI yang bisa membantuku mendapatkan jawaban mengenai hal itu. 

Daeng Jua mengatakan kurang tahu banyak mengenai persoalan itu. Saya menggubris arahan beliau dengan senang hati. Tidak lama berselang setelah arahan dari beliau, entah mengapa Daeng Jua seperti tiba-tiba curhat. Ia mengatakan bahwa CPI telah banyak memberikan dampak bagi para nelayan terutama pasca- penimbunan yang menjadi wilayah tangkap ikan masyarakat nelayan di Pulau Lae-Lae. 

“Terus terang, Nak, semenjak CPI ada, kami serba kesusahan.” Tuturnya kemudian melanjutkan berkata “silakan tanyakan ke semua masyarakat nelayan di sini.” Ia berusaha meyakinkanku. Ia menyatakan bahwa Ia memiliki bos di mana hasil tangkap ikannya akan dijual kepada bosnya tersebut untuk mendapatkan penghasilan dan menyambung hidup. Tentu saja setelah mendengarkan pernyataan itu membuatku sedih kerena keberlangsungan hidup beliau bergantung pada sumber daya alam di Pulau Lae-Lae. 

Daeng Jua telah menerima bantuan dari pihak CPI berupa uang sebanyak tiga juta rupiah. Daeng Jua mengatakan “untunglah saya ini memiliki bos sebagai tempat mendapatkan penghasilan, andai saja saya tidak memiliki bos entah bagaimana hidupku ini.” Saya semakin sedih.

Setelah banyak bercerita bersama Daeng Jua, saya pun pamit dan mencium tangan beliau lalu menitipkan pesan kepadanya “sehat-sehat ki di’ Daeng, panjang umur ki.” 

Sembari melangkah meninggalkan tempatnya, saya melihat respons beliau tersenyum atas pesan yang tulus itu. Jika di lain hari saya memiliki kesempatan untuk kembali ke Pulau Lae-Lae, maka orang yang paling pertama saya kunjungi adalah beliau. Terus terang saya sangat ingin membantu Daeng Jua, tetapi apalah daya saya ini hanya mahasiswa biasa yang masih bergantung pada penghasilan orang tua. Selain itu, ada pesan Fasilitator Ruangan: bahwa “peserta dan para penyelenggara kegiatan sama sekali tidak bermaksud mengubah kehidupan masyarakat di sini, juga tidak datang menggurui atau mengajari masyarakat di Pulau ini, melainkan kamilah yang perlu belajar bersama mereka.”

III

Waktu terus membatasi kami para peserta dalam melakukan Riset Lapangan, dan saya masih perlu memverifikasi dan membandingkan data yang saya dapatkan melalui informan-informan lainnya. Terus terang saja saya berpegang teguh pada pesan yang disampaikan fasilitator ruangan Metodologi Riset Lapangan yaitu kakanda Askar Nur, bahwa selaku peneliti layaknya wartawan profesional, harus objektif dalam menanggapi informasi yang telah diterima, serta menjaga keseimbangan informasi, menjunjung tinggi ketidakberpihakan, dan menjaga etika sebagai peneliti.

Saya terus melangkah sampai akhirnya menemukan informan ketiga. Daeng Salama sapaannya. Ia sedang duduk santai di atas perahu tua yang mungkin sudah tidak digunakan. Saya menyapa Daeng Salama sembari berjalan ke dekatnya dan beliau menanggapi dengan sangat ramah sambil mempersilahkan saya duduk di atas perahu terbalik di sebelahnya. 

Seperti biasa, saya memulai percakapan dengan sedikit melakukan pendekatan agar memberi kenyamanan. Saya mencoba saling menghubungkan informasi- informasi yang saya dapatkan dari satu informan ke informan lainnya, lalu memaparkannya pada setiap Focus Group Discussion dengan tujuan mengevaluasi apa saja yang kurang. 

Lagi-lagi kesamaan saya dapatkan dari Daeng Salama terkait rencana penimbunan daerah pesisir pantai bagian barat Pulau Lae-Lae. Selanjutnya saya menanyakan respons beliau mengenai dampak positif atau buruknya persoalan tersebut. 

Daeng Salam hanya berkata, “Saya sih setuju-setuju saja karena saya juga pasrah harus bertindak bagaimana. Kita para nelayan hanya mengikut pada tokoh-tokoh masyarakat di sini, kalau tokoh-tokoh masyarakat di sini menolak ya kami pun menolak, tapi kalau setuju tentunya kami juga setuju. Jadi kami di sini hanya pasrah saja dan mengikut. Sebuah informasi yang sangat penting baru saja saya dapatkan.

Saya pun tidak berlama-lama bersama Daeng Salama karena saya rasa sudah cukup. Saya pamit dengan Daeng Salama sambil berterima kasih banyak atas informasi beliau serta keramahan beliau. Saya menjabat dan mencium tangan beliau dan melangkah pulang. 

Sambil berjalan menuju pondok tempat kami menginap, saya melihat ada seorang yang bisa dibilang masih sangat muda dan mungkin sebaya dengan saya memainkan smartphone miliknya. Saya singgah menyapanya. Dia menyambut saya dengan ramah dan mempersilakan saya duduk. 

Nama pemuda ini adalah Asrul, seorang mahasiswa pelayaran di Barombong. Dia adalah salah satu kunci informan yang saya tanyai mengenai tema dan topik penelitian saya. Dia sangat banyak mengetahui persoalan reklamasi itu.

Asrul dan saya berbaur sangat cepat. Bahkan informan yang paling lama menemaniku berdiskusi adalah Asrul. Kurang lebih memakan waktu 2 jam untuk percakapanku dengan dia. Asrul banyak bercerita tentang kehidupan pribadinya, tentang bagaimana keseharian masyarakat di sini, tentang bagaimana kerukunannnya, tentang bagaimana mitos-mitosnya. Namun, akan sangat panjang bila saya membahas semua. Maka, untuk mempersingkatnya saya langsung saja pada poin yang disampaikan Asrul.

Saya memverifikasi dan membandingkan kepada Asrul data-data yang telah saya dapat dari informan-informan sebelumnya. Pertama, saya menanyakan tentang rencana penimbunan yang dirancang oleh Pak Gubernur Nurdin Abdullah. Kemudian menjelaskan secara rinci bahwa rencana tersebut adalah bagian dari proyek reklamasi Center Point of Indonesia (CPI) seluas 12 hektare dan akan dijadikan pusat-pusat kuliner yang dikelola langsung Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu dia juga mengungkapkan bahwa rencana tersebut telah dirapatkan dan disetujui masyarakat setempat dengan catatan pencarian nelayan tidak dimatikan dan mereka diberikan jaminan bahwa pusat kuliner yang dibangun tersebut dikelola oleh warga setempat. Namun, seperti yang disampaikan Daeng Jua bahwa rencana itu terhambat akibat dari penangkapan Pak Gubernur.

Saya juga memverifikasi tentang bantuan-bantuan. Kata Asrul, penyaluran bantuan seperti itu sering kali tidak merata. Contohnya pembagian sembako yang cenderung dibagikan dari satu rumah kemudian rumah lainnya tetapi melangkahi rumah sebelumnya. “Masyarakat asli pulau ini sudah pasti menolak adanya proyek-proyek yang bisa saja merugikan para nelayan maupun masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam laut di Pulau Lae-Lae. Kata Asrul ada yang pasrah karena keadaan sehingga setuju-setuju saja.” Ungkap pemuda berbadan kakar ini.

Asrul juga mengungkapkan bahwa bukan Cuma proyek CPI yang mengurangi wilayah pencarian nelayan, tetapi pelabuhan juga memberi dampak besar atas pengerukan yang dilakukan oleh mereka. Tentunya ada banyak informasi yang saya dapatkan dari Asrul tapi ada beberapa yang tidak saya sampaikan di sini mengingat itu sangat-sangat sensitif dan bisa saja merugikan pihak tertentu. 

IV

Di sini saya  sedikit  bisa melihat  bahwa  masyarakat  Lae-Lae  sangat  ramah  dan  kooperatif menyambut para pengunjung yang datang ke pulau ini. Bahkan kami diundang untuk menghadiri jamuan makan malam bersama masyarakat. Saya tidak bisa menggambarkan dengan kata-kata segala kebaikan mereka.

Mungkin itu saja yang bisa saya tuliskan di sini. Sekali lagi saya tidak sedang menggurui siapa pun dan juga tidak ada niatan mengubah apa pun dari hasil penelitian saya. Di sini saya hanya mencoba belajar dan menuntut ilmu dan pengetahuan bersama masyarakat di pulau Lae-Lae.

Memiliki banyak sekali kekurangan dan sangat jauh dari kata sempurna., tulisan ini tentu saja saya tulis dengan sejujur-jujurnya seperti yang saya lihat langsung dan dapatkan dari informan selama penelitian di lapangan.


Saya juga ingin berterima kasih kepada seluruh elemen yang telah berperan besar menyukseskan kegiatan ini terutama untuk fasilitator ruangan penulisan catatan lapangan kakanda Naufal Mahdi yang mana tanpa beliau tulisan ini mungkin tidak akan sepanjang ini.

Saya juga berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kakanda Askar Nur sebagai pengajar metodologi riset lapangan yang telah membekali kami hakikat dan etika penelitian sejak awal kegiatan berlangsung.

Saya, selaku penulis memohon maaf yang sebesar- besarnya apabila ada pihak yang tidak berkenan atau tersinggung dalam penulisan saya ini. Kurang dan lebihnya tulisan ini mohon dimaklumi. 

Yakin Usaha Sampai

Komentar

Postingan populer dari blog ini